A. Buah Kebaikan
Pada suatu hari ada seorang
pemabuk yang mengundang sekelompok sahabatnya. Mereka pun duduk, kemudian si
pemabuk memanggil budaknya, lalu ia menyerahkan empat dirham kepada pembantunya
dan menyuruhnya agar membeli buah-buahan untuk teman-temannya tersebut. Di
tengah-tengah perjalanan, si pembantu melewati seseorang yang zuhud, yaitu
Manshur bin Ammar. Beliau berkata, “Barangsiapa memberikan empat dirham
kepadanya. Selanjutnya Manshur bin Ammar bertanya, “Doa apa yang Anda
inginkan?” Lalu ia menjawab, “Pertama, saya mempunyai majikan yang bengis. Saya
ingin dapat terlepas darinya. Kedua, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan empat dirham untukku.
Ketiga, saya ingin Allah Subhanahu
wa Ta’ala menerima taubat
majikan saya. Keempat, saya ingin Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan
ampunan untukku. Ketiga, saya ingin Allah Subhanahu
wa Ta’ala menerima
taubat majikan saya. Keempat, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan untukku, untuk
majikanku, untukmu, dan orang-orang yang hadir di sana.” Kemudian Manshur
mendoakannya.
Pembantu itu pun berlalu dan
kembali kepada majikannya yang gemar menghardiknya. Majikannya bertanya
kepadanya, “Mengapa kamu terlambat dan mana buahnya?” Lantas ia menceritakan
bahwa ia telah bertemu sang ahli zuhud bernama Manshur dan bagaimana ia telah
memberikan empat dirham kepadanya sebagai imbalan empat doa. Maka, amarah sang
majikan pun redam. Ia bertanya, “Apa yang engkau mohonkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ia menjawab,
“Saya mohon untuk diriku agar saya dibebaskan dari perbudakan.” Lantas
majikannya berkata, “Sungguh, saya telah memerdekakanmu. Kamu sekarang merdeka
karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Apa doamu yang kedua?” Ia menjawab, “Saya memohon agar
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan empat dirham buatku.”
Majikannya berkata, “Bagimu empat dirham. Apa doamu yang ketiga?” Ia menjawab,
“Saya memohon agar Allah Subhanahu
wa Ta’ala menerima
taubatmu.” Lantas si majikan menundukkan kepalanya, menangis, dan menyingkirkan
gelas-gelas arak dengan kedua tangannya dan memecahkannya. Lalu ia berkata,
“Saya bertaubat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Saya tidak akan mengulanginya lagi selamanya. Lalu apa
doamu yang keempat?” Ia menjawab, “Saya memohon agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan untukku, untukmu,
dan orang-orang yang hadir di sini.” Sang majikan berkata, “Yang ini bukan
wewenangku. Ini adalah wewenang Dzat Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ketika sang majikan tidur pada malam harinya, ia mendengar suara
yang mengatakan, “Engkau telah melakukan apa yang menjadi wewenangmu. Sungguh,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan ampunan kepadamu, si
pelayan, Manshur bin Ammar, dan semua orang-orang yang hadir.”
B. Seorang Wanita Menasihati Sang Alim
Dalam sebuah hadits shahih,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Lalu
dikatakan, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum
muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”
Memang benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat apabila
nasihat tersebut bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Namun, sebuah nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru akan
membawa malapetaka dan kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah
nasihat, melainkan bisikan-bisikan dan was-was setan. Masalahnya, apakah sebuah
nasihat hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja dan tidak mungkin
dilakukan oleh kaum wanita?
Kisah berikut
ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun dapat memberikan andil dalam memberikan
nasihat dan amar
ma’ruf nahi munkar sesuai
dengan kemampuan mereka. Semoga bermanfaat.Allahul-Muwaffiq.
Alkisah
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan
sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’,
dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu
istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk
bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,
‘Sesungguhnya, dahulu di zaman
Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, ‘alim, abid, dan mujtahid.Dia memiliki seorang istri yang
sangat ia kagumi dan cintai. Lalu meninggallah sang istri tersebut,
sehingga membuat hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima
kenyataan tersebut, sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam
rumah, dan memutus segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang
pun yang dapat bertemu dengannya.
Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut,
maka dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia,
“Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin
mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung dengannya.”
Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia
tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim. Dia berujar,
‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru,
‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan
fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya
melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi,
manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di
depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, Sang Alim menjawab,
‘Izinkanlah dia masuk.’ Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh,
aku datang kepadamu karena suatu pemasalahan.’ Sang Alim menjawab, “Apakah
pemasalahanmu?’ Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan
kepada salah satu tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu
lamanya, lalu suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil
kembali barang itu kepadanya?’ Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah,
engkau harus memberikan kepada mereka.’ Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi,
aku telah memakainya sejak lama sekali.’ Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka
lebih berhak untuk mengambil kembali barang yang telah dipinjamkan kepadamu
sekalipun telah sejak lama.’ Lalu, wanita itu mengatakan, ‘Wahai Sang Alim,
semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmatimu.
Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah
dititipkan AllahSubhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya,
sedang Dia lebih berhak untuk mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu
tersadarlah Sang Alim atas peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan perkataan si wanita
tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.
Kisah di atas diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dalam kitab al-Jana’iz Bab Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai
kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”
Ibrah
Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai
pengukur keimanan hamba. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى
نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ
“Dan sesungguhnya, Kami
benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad
dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal
ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).
Kesabaran sangat dibutuhkan
tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah
ialah mengharap kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala pahala dan
ganti yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa
tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ
مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِصِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا
إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu
musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (yaitu),
‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya jualah kita
akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan
berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.’” (HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi,
11/417, Ahmad, 33/82).
Dengan demikian, sungguh
sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua
perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun
musibah— semuanya adalah baik baginya, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsifatkan
dalam sabdanya,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan perkara (urusan) orang
muslim, semua perkara (urusan)nya baik dan hal itu tidaklah terjadi kecuali
pada diri seorang muslim. Apabila diberi kenikmatan ia bersyukur maka hal itu baik baginya. Dan apabila ditimpa kesulitan
ia bersabar maka hal itu pun baik baginya.” (HR. Muslim. 14/280).
Beratnya cobaan sering menjadikan
manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Kita semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan
dikembalikan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat. Mereka berlarut-larut
dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri. Bahkan, terkadang mereka
berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan
mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal Rasulullahshallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ
الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan termasuk golongan kami seorang yang
menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan
jahiliah.” (HR. Bukhari, 5/41, at-Tirmidzi, 4/119, an-Nasa’i,
6/408).
Bersedih adalah suatu kewajaran
terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi,
janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ
وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا
“Mata boleh menangis, hati boleh bersedih,
tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang diridhai
oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR.
al-Bukhari: 5/57).
Memang, setang sangatlah lihai
dalam mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya
saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs. adz-Dzariyat: 55).
Hanya saja, cara kita memberikan
nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorangwaliyul-amri (penguasa) berbeda dengan cara
menasihati rakyat. Menasihati orang tua berbeda dengan cara menasihati anak
kita sendiri. Demikian pula, cara menasihati seorang yang alim yang memiliki
pengaruh dan ucapan yang didengar oleh masyarakat hendaklah berbeda dengan cara
kita menasihati seorang yang awam. Hendaklah menasihati dengan cara yang
lembut, dengan kata-kata yang halus, dan tidak dilakukan di depan khalayak
ramai, sebagaimana yang telah dilakukan wanita tersebut. Mudah-mudahan dengan
itu mereka akan tersadar dan kembali pada jalan yang benar. Karena, seorang
alim bukanlah orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka
pun manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاؤٌ
وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan,
dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat darinya.”
(HR. at-Tirmidzi, 9/59, Ibnu Majah, 12/302, Ahmad, 26/123).
C.
Mutiara Kisah
Beberapa pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di
atas adalah:
1.
Terkadang seorang ahlul ilmi dapat lupa dan lalai dari ilmu yang
selama ini ia ajarkan. Sebagaimana kisah Sang Alim yang faqih di atas, dia telah lupa terhadap apa
yang selama ini selalu dia ajarkan tentang wajibnya seorang untuk tetap
bersabar di kala terkena musibah.
2.
Kewajiban bagi para ahlu
ra’yi dan yang siapa
saja yang memiliki pemahaman, hendaklah mengingatkan saudaranya yang lain dari
hal-hal yang terkadang terlalaikan darinya. Dan hal ini tidak terbatas hanya
dilakukan oleh kaum laki-laki saja, melainkan kaum wanita pula apabila memang
memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Tentunya hal itu dilakukan apabila aman
dari fitnah dan tidak melanggar larangan dan keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang
telah dilakukan oleh wanita dalam kisah di atas yang dapat menyadarkan kembali
seorang alim yang tengah lalai dari peristiwa besar yang menimpanya.
3.
Ilmu dan pemahaman adalah titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki
dan wanita, karena ilmu bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja.
Kaum wanita pun berhak mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian
yang terjadi pada diri seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui
hukum-hukum syariat. Thaharoh (bersuci), mendidik anak, dan
lain-lain adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu dan pemahaman yang
benar.
4.
Pentingnya membuat suatu permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan,
karena sebuah contoh dapat menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas. Dan
ini pulalah metode al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan.
Perhatikanlah ayat Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang
menjelaskan tentang kalimat tauhid dan kalimat-kalimat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ
مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا
فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ
اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {25} وَمَثَلُ كَلِمَةٍ
خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن
قَرَارٍ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat: Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim: 24-26).
5. Disenangi menghibur manusia
dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang terdahulu dan kisah-kisah berharga
yang sarat dengan pelajaran. Terlebih apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian
dengan keadaan orang yang sedang diberi nasihat, karena metode yang demikian
akan lebih menggugah hatinya dan menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia
dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Wallahu A’lam.
D. Durhaka kepada Orang Tua karena Istri
Durhaka kepada Orang Tua karena
Istri – Ayahku meninggal ketika aku
masih kecil. Tinggal ibuku yang selalu merawatku… Beliau bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, sehingga mampu membiayai hidupku. Aku anak satu-satunya.
Beliau memasukkanku ke lembaga pendidikan, sampai aku menyelesaikan perguruan
tinggi. Sampai titik ini, aku masih menjadi anak yang berbakti kepadanya.
Tiba waktunya aku harus
melanjutkan kuliah di luar negeri. Keberangkatanku diiringi dengan pesan ibuku
sambil menetaskan air matanya, “Catat
baik-baik di lubuk hatimu wahai anakkku, jangan sampai kamu tidak memberi
kabar.. sering kirim surat, sehingga saya bisa merasa tenang dengan keadaan
baikmu.”
Usai sudah masa studiku setelah menempuh waktu yang sangat lama.
Namun aku kembali pulang dengan sosok yang berbeda. Aku banyak terpengaruh
dengan budaya barat. Saya mulai memandang miring aturan agama…diliputi dengan
semangat materialisme, yang hanya mendambakan harta dan harta. Saya mendapat
pekerjaan dengan salary tinggi. Mulailah saya terarik untuk menikah.
Sebenarnya ibuku telah menawari aku untuk menikah dengan wanita
yang baik agamanya, sopan, dan menjaga kehormatan. Namun aku tolak, dan aku
hanya mau dengan wanita kenalanku, wanita kaya nan cantik jelita. Saya punya
mimpi untuk memiliki kehidupan model ‘Aristikrasi’ (menurut istilah mereka).
Setelah menjalani hidup
berkeluarga selama 6 bulan, mulailah istriku membuat ulah, sampai membuat ibuku
marah. Sampai suatu saat, ketika saya masuk rumah, tiba-tiba saya mendengar
tangisan istriku. Spontan aku tanyakan tentang sebabnya, istriku malah
mengancam, “Pilih saya atau ibumu yang tinggal di rumah
ini… saya sudah gak sanggup tinggal bersamanya..”
Spontan aku jadi seperti orang
gila. Aku
usir ibuku dari rumah, di saat puncak kemarahanku. keluarlah beliau
sambil menitikkan air mata. Ucapan indah yang aku dengar, “Semoga Allah membahagiakanmu wahai anakku…”
Setelah agak mereda, akupun mengejar beliau. Aku mencarinya,
tapi terlambat sudah. Ibuku telah menghilang. Aku kembali pulang. Istriku
berusaha untuk menenangkan aku. Dia bujuk rayu aku agar mulai lupa dengan
ibuku, emas yang paling berharga bagiku..
Aku kehilangan berita tentang
ibuku sampai kurun waktu yang lama. Pada kesempatan yang sama, aku menderita
sakit parah yang menyeretku ke rumah sakit. Ternyata ibuku mendengar berita
tentangku. Beliau datang ke rumah sakit untuk menjengukku. Ketika itu, istriku
yang menemaniku. Melihat kehadiran ibuku, dia mengusirnya sebelum sempat
menemui anaknya. “Anakmu tidak ada di sini… Apa yang kamu
inginkan dari kami… menjauhlah dari kami!!” Ibuku tertatih kembali
tanpa sempat menemuiku.
Keluarlah aku dari rumah sakit,
setelah opname dalam waktu yang lama. hanya saja, sekarang kondisiku berbalik.
Aku kehilangan pekerjaan dan rumah. utangpun mulai bertumpuk. Semua itu
disebabkan istriku yang selalu menuntut materi dan materi. Sampai di puncak
kesusahan, si cantik istriku mulai tidak betah. “Karena kamu sudah kehilangan pekerjaan, harta,
dan posisimu di masyarakat, mulai saat ini aku tegaskan di hadapanmu: ‘Ceraikan
aku!”
Ibarat petir yang menyambar kepalaku… akupun mentalaknya. Namun,
di balik ini muncul hikmah yang besar. Aku mulai terbangun dari keterlenaan.
Akupun pergi tak tentu arah.
Tekadku hanya satu, bisa kembali ke ibuku. Aku harus cari ibuku… sampai
akhirnya, aku berhasil menemukan beliau. Tahukah anda, di mana beliau? Di
yayasan penampungan orang tidak mampu. Beliau hidup dengan sedekah dari para aghniya (orang mampu).
Aku menemui beliau… ternyata beliau tak kuasa menahan tangisnya,
wajahnya mulai pucat. Tak kuasa ku menatap beliau, selain langsung aku rebahkan
diriku di pangkuan beliau. Sambil menangis terisak-isak… Kami menangis hampir
satu jam.
Aku menuntun beliau untuk pulang ke rumah ibuku. Aku bertekad
untuk selalu taat kepada beliau. Aku merasakan kehidupan yang sangat indah.
Bersama kekasih seumur hidupku: Ibuku (semoga Allah menjaganya).
Aku memohon kepada Allah agar selalu menutupi kesalahanku dan
menjadikan aku bebas dari masalah.
E. Hal-hal yang Menyelamatkan dari Kebinasaan
Hal-hal yang Menyelamatkan dari Kebinasaan
Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami ketika kami sedang berada
di shuffah di kota Madinah. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sungguh, tadi malam saya bermimpi aneh. Saya melihat seseorang dari umatku
didatangi oleh malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Lalu datanglah amalnya
berupa bakti kepada kedua orang tua yang menghalangi malaikat maut mencabut
nyawanya.
Saya melihat seseorang dari
umatku telah dihamparkan untuknya siksa kubur, lalu wudhunya mendatanginya dan
menyelamatkannya dari siksa tersebut. Saya melihat seseorang dari umatku
dikepung oleh beberapa setan, lalu dzikirnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mendatanginya dan mengusir setan-setan
tersebut dari sisinya. Saya melihat seseorang dari umatku telah dikepung oleh
malaikat juru siksa lalu shalatnya mendatanginya dan menyelamatkannya dari
tangan para malaikat tersebut.
Saya melihat seseorang dari umatku merasakan kehausan. Ketika
dia hendak mendekat ke telaga, maka dia dicegah dan diusir, lantas puasanya
pada bulan Ramadhan datang dan memberinya minum sehingga membuatnya segar. Saya
melihat seseorang dari umatku dan saya melihat para nabi berkelompok membentuk
lingkaran-lingkaran. Ketika dia hendak mendekati lingkaran para nabi, maka dia
diusir, lantas datanglah mandi jinabatnya dan memegang tangannya, lantas
mendudukkannya di sampingku. Saya melihat seseorang dari umatku di depannya
gelap, di sebelah kirinya gelap, di sebelah kanannya gelap, di sebelah atasnya
gelap, dia pun menjadi bingung. Lantas datanglah hajinya dan umrahnya, lalu
keduanya mengeluarkannya dari kegelapan dan memasukkannya dalam cahaya.
Saya melihat seseorang dari umatku melindungi tangannya dan
wajahnya menghindari nyala dan bara api neraka, lantas datanglah sedekahnya
menjadi tabir antara dirinya dan neraka sekaligus menjadi naungan untuk
kepalanya. Saya melihat seseorang dari umatku mengajak bicara orang-orang
mukmin, tetapi mereka tidak mau berbicara dengannya, lalu datanglah silaturahim
yang dilakukannya, lalu berkata, ‘Wahai golongan kaum mukmin! Sesungguhnya dia
banyak melakukan silaturahim, oleh karena itu ajaklah dia bicara. Maka, kaum
mukmin pun mau mengajaknya bicara, berjabat tangan dengannya, dan dia berada di
tengah-tengah mereka.
Saya melihat seseorang dari
umatku telah dikepung oleh malaikat Zabaniyah, lalu datanglah amar makruf nahi
mungkar yang pernah dilakukannya, lalu menyelamatkannya dari tangan malaikat
tersebut dan memasukkannya di kalangan malaikat Rahmat. Saya melihat seseorang
dari umatku bersimpuh pada kedua lututnya. Sementara antara dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala terdapat penghalang, lantas datanglah
akhlaknya yang baik, lalu memegang tangannya dan mempertemukannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Saya melihat seseorang dari
umatku yang lembaran catatan amalnya jatuh di arah kirinya, lantas datanglah
rasa takutnya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, lalu mengambil lembaran catatan amal tersebut dan
diletakkan pada tangan kanannya. Saya melihat seseorang dari umatku yang
timbangan amalnya ringan, lalu anak-anaknya yang masih kecil yang telah meninggal
sebelum dia mendatanginya, latnas mereka memberatkan timbangan amalnya. Saya
melihat seseorang dari umatku sedang berdiri di tepi neraka Jahannam, lalu
khauf (rasa takut) kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala mendatanginya,
lantas menyelamatkannya dari hal tersebut dan berlalu.
Saya melihat seseorang dari umatku turun ke
neraka, lantas air mata yang pernah dicucurkannya karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mendatanginya, lalu menyelamatkannya
dari hal tersebut. Saya melihat seseorang dari umatku sedang berdiri di atas
shirath (jembatan) yang bergoyang-goyang bagaikan pelepah pohon kurma yang
diterpa angin kencang, lantas baik sangkanya terhadap Allah ‘Azza wa Jalla mendatanginya, lalu menenangkan
ketakutannya dan dia pun melewatinya. Saya melihat seseorang dari umatku sedang
merangkak di atas shirath, terkadang mengesot, dan sesekali bergantung, lantas
bacaan shalawatnya kepadaku mendatanginya, lalu menyelamatkannya dan menegakkan
kedua kakinya. Saya juga melihat seseorang dair umatku telah sampai di
pintu-pintu surga, ternyata pintu-pintu itu telah ditutup, lalu bacaan syahadat
bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu wa Ta’ala mendatanginya, lalu membukakan
untuknya pintu-pintu surga dan memasukkannya ke dalam surga’.”
(Dikeluarkan oleh al-Madini, dan dia berkata hadits ini hasan).
Sekelompok huffazh menyebutkan bahwa isyarat keshahihannya telah terlihat.
F. Ridha dengan Takdir yang Pahit
Dihikayatkan bahwa seseorang dari
kalangan orang-orang shalih melewati seorang laki-laki yang terkena penyakit
lumpuh separuh badan, ulat bertebaran dari dua sisi perutnya, lebih dari itu ia
juga buta dan tuli. Lelaki lumpuh itu mengatakan, “segala puji bagi Allah yang
telah menyelamatkanmu dari cobaan yang telah dialami oleh banyak orang.” Lantas
lelaki shalih yang lewat itu heran, kemudian bertanya kepadanya, “Wahai
saudaraku! Apa yang diselamatkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dari dirimu
padahal saya melihat semua musibah, menimpa dirimu?” Ia menjawab,
“Menyingkirlah kamu dariku hai pengangguran! Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkanku karena Dia
menganugerahkan kepadaku lisan yang selalu mentauhidkan-Nya, hati yang dapat
mengenal-Nya, dan waktu yang selalu kugunakan untuk berdzikir kepada-Nya.”
Dihikayatkan pula bahwa ada
seorang yang shalih yang apabila ditimpa sebuah musibah ataumendapat cobaan, selalu berkata, “Ini adalah sesuatu
yang baik.” Pada suatu malam serigala datang memangsa ayam jagonya, kejadian
ini disampaikan kepadanya, maka ia pun berkata, “Ini adalah sesuatu yang baik.”
Kemudian pada malam itu pula anjing penjaga ternaknya dipukul orang hingga
mati, lalu kejadian ini disampaikan kepadanya. Ia pun berkata, “Ini adalah
sesuatu yang baik.” Tak berapa lama keledainya meringkik, lalu mati. Ia pun
berkata, “Ini adalah sesuatu yang baik, insya Allah.” Anggota keluarganya
merasa sempit dan tidak mampu memahami mengapa ia mengucapkan perkataan itu.
Pada malam itu orang-orang Arab datang menyerang mereka. Mereka membunuh semua
orang yang ada di wilayah tersebut. Tidak ada yang selamat selain dia dan
keluarganya. Orang-orang Arab yang menyerang tersebut menjadikan suara ayam
jago, gonggongan anjing, dan teriakan keledai sebagai indikasi bahwa sebuah
tempat itu dihuni oleh manusia, sedangkan semua binatang miliknya telah mati.
Jadi, kematian semua binatang ini merupakan kebaikan dan menjadi penyebab
dirinya selamat dari pembunuhan. Maha Suci Allah Yang Maha Mengatur dan Maha
Bijaksana.
Al-Mada’ini menceritakan,
“Di daerah pedalaman saya pernah melihat seorang perempuan yang
saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih bersih kulitnya dan lebih
cantik wajahnya daripada dirinya. Lalu saya berkata, “Demi Allah, kesempurnaan
dan kebahagiaan berpihak kepadamu.” Lantas perempuan tersebut berkata, “Tidak.
Demi Allah, sesungguhnya saya banyak dikelilingi oleh duka cita dan kesedihan.
Saya akan bercerita kepadamu. Dulu saya mempunyai seorang suami. Dari suami
saya tersebut saya mempunyai dua orang anak. Suatu ketika ayah kedua anak saya
ini sedang menyembelih kambing pada hari raya Idul Adha. Sedangkan anak-anak
sedang bermain.” Lantas anak yang lebih besar berkata kepada adiknya, “Apakah
kamu ingin saya beritahu bagaimana cara ayah menyembelih kambing?” Adiknya
menjawab, “Ya.” Lalu si kakak menyembelih adiknya. Ketika si kakak ini melihat
darah, maka ia menjadi cemas, lalu ia melarikan diri ke arah gunung. Tiba-tiba
ia dimangsa oleh serigala. Kemudian ayahnya keluar untuk mencari anaknya,
ternyata ia tersesat di jalan sehingga ia mati kehausan. Akhirnya saya pun
hidup sebatang kara.” Lantas saya bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa
sabar?” Ia menjawab, “Apabila peristiwa tersebut terus-menerus menimpa saya,
pasti saya masih merasakannya. Namun, hal itu saya anggap hanya sebuah luka,
hingga akhirnya ia pun sembuh.”
Pada saat putranya meninggal
dunia, Imam asy-Syafi’i rahimahullah.
Berkata, “Ya Allah! Jika Engkau memberi cobaan, maka sungguh Engkau masih
menyelamatkanku. Jika Engkau mengambil, sungguh Engkau masih menyisakan yang
lain. Jika Engkau mengambil sebuah organ, sungguh Engkau masih menyisakan
banyak organ yang lain. Jika Engkau mengambil seorang anak, sungguh Engkau
masih menyisakan beberapa anak yang lain.”
Al-Ahnaf bin Qais mengatakan,
“Saya mengadukan sakit perut yang saya alami kepada pamanku,
namun ia malah membentakku seraya berkata, “Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau
mengeluhkannya kepada seorang pun. Sesungguhnya manusia itu ada dua macam.
Teman yang kamu susahkan dan musuh yang kamu senangkan. Janganlah engkau
mengeluhkan sesuatu yang menimpa dirimu kepada makhluk sepertimu yang tidak
mampu mencegah bila hal serupa menimpa dirinya. Akan tetapi, adukanlah pada
Dzat yang memberi cobaan kepadamu. Dialah yang mampu memberikan kelonggaran
kepadamu. Hai putra saudaraku! Sungguh, salah satu dari kedua mataku ini tidak
dapat melihat semenjak empat puluh tahun lalu. Saya tidak memberitahukan hal
ini kepada istri saya dan kepada seorang pun dari keluarga saya.”
Ada seorang yang shalih mendapat
cobaan terkait putra-putranya. Ketika ia dianugerahi dua orang anak dan baru
saja mulai beranjak besar sehingga membuatnya bahagia, tiba-tiba anaknya
dijemput kematian. Ia ditinggalkan anaknya dengan penuh kesedihan dan patah
hati. Akan tetapi, lantaran kuatnya iman, ia hanya dapat mengikhlaskan karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersabar seraya berkata, “Milik
Allah Subhanahu wa Ta’ala – segala sesuatu yang telah Dia
berikan. Milik AllahSubhanahu wa Ta’ala pula segala sesuatu yang telah Dia
ambil. Ya Allah! Berilah keselamatan kepadaku dalam musibah ini dan berikanlah
ganti yang lebih baik lagi.” Allah pun menganugerahkannya anak yang ketiga.
Setelah beberapa tahun, si anak jatuh sakit. Dan ternyata sakitnya sangat parah
sampai hampir mati. Sang ayah berada di sisinya dengan air mata yang
berlinangan. Kemudian ia merasakan kantuk dan tidur. Di dalam tidurnya ia
bermimpi bahwa kiamat telah datang. Ketakutan-ketakutan pada hari Kiamat telah
muncul. Lantas ia melihat shirath (jembatan) yang telah dipasang di atas
permukaan Neraka Jahannam. Orang-orang sudah siap menyeberanginya. Laki-laki
tersebut melihat dirinya sendiri di atas shirath.
Ia hendak berjalan, tetapi ia takut terjatuh. Tiba-tiba anaknya yang pertama
yang telah mati datang berlari-lari menghampirinya seraya berkata, “Saya akan
menjadi sandaranmu wahai ayahku!” Sang ayah pun mulai berjalan. Akan tetapi, ia
masih khawatir terjatuh dari sisi lain. Tiba-tiba ia melihat anaknya yang kedua
mendatanginya dan memegangi tangannya pada sisi lainnya. Lantas lelaki tersebut
sungguh-sungguh bergembira. Setelah ia berjalan sebentara, ia merasakan sangat
haus, lalu ia meminta kepada salah satu dari dua anaknya tersebut agar
memberinya minuman. Keduanya berkata, “Tidak bisa. Jika salah satu dari kita
meninggalkanmu, niscaya engkau terjatuh ke neraka, lalu apa yang sebaiknya kita
lakukan?” Salah satu dari kedua anaknya berkata, “Wahai ayahku! Seandainya ada
saudara kami yang ketiga bersama kami, pastilah ia dapat mengambilkan minum
untukmu sekarang.” Lantas lelaki tersebut terjaga dari tidurnya seraya
ketakutan. Ia memuji Allah Subhanahu
wa Ta’ala bahwa ia
masih hidup dan Hari Kiamat belum tiba. Seketika ia melirik ke arah anaknya
yang sedang sakit di sampingnya. Ternyata anaknya telah meninggal dunia. Kontan
ia menjerit, “Segala puji bagi Allah.” Sungguh, saya telah mempunyai simpanan
dan pahala. Kamu adalah pendahulu bagiku di atas shirath pada hari Kiamat kelak.”
G. Matahari Yang Tertunda Terbenamnya
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suatu ketika, seorang Nabi
(Yusya bin Nun Alaihi Salam) berperang, kemudian ia berkata kepada kaumnya,
‘Janganlah ikut serta dalam peperanganku ini seseorang lelaki yang baru saja
menikah dan ia hendak berhubungan dengan istrinya itu, jangan pula ikut serta
dalam peperangan ini seorang yang tengah membangun rumah dan belum mengangkat
atapnya, jangan pula seseorang yang membeli kambing atau onta yang sedang
bunting tua yang ia menantikan kelahiran anak-anak ternaknya itu’.”
“Lantas sang Nabi berangkat
perang. Ketika ia telah dekat dengan sebuah desa pada waktu shalat ashar atau
sudah dekat dengan itu, ia berkata kepada matahari, ‘Sesungguhnya engkau diperintahkan dan saya
pun juga diperintahkan. Ya Allah! Tahanlah jalan matahari itu di atas kami.’ Kemudian matahari itu tertahan
(tertunda dari waktu terbenamnya) sehingga Allah Subhanahu wa Ta’alamemberikan
kemenangan kepada sang Nabi.
Kemudian ia mengumpulkan banyak harta rampasan. Kemudian
datanglah api untuk membakar harta rampasan tadi, tetapi api tersebut enggan
membakarnya. Sang Nabi berkata, ‘Sesungguhnya di antara kalian semua itu ada
yang mencuri harta rampasan. Oleh karena itu, hendaklah dari setiap kabilah ada
satu orang yang berbaiat padaku.
Lalu ada seorang lelaki yang
tangannya melekat dengan tangan Nabi tersebut. Lalu sang Nabi berkata, lagi,
‘Sesungguhnya di kalangan kabilahmu ada yang mencuri harta rampasan. Oleh sebab
itu, hendaklah setiap orang dari kabilahmu berbaiat kepadaku.’ Selanjutnya ada
dua atau tiga orang yang tangannya lekat dengan tangan sang Nabi, lalu beliau
berkata pula, ‘Di kalangan kabilahmu ada yang mencuri harta rampasan.’ Mereka
lalu menyerahkan sebongkah emas sebesar kepala lembu, lalu mereka meletakkan
benda tersebut, kemudian datanglah api yang langsung melalapnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan harta rampasan tersebut
untuk kita. Dia mengetahui betapa lemahnya diri kita. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkannya untuk kita.” (Muttafaq
alaih).
SEMOGA BERMANFAAT (RATHY MATH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar