MAKALAH
POLA DAN MODEL BIMBINGAN KONSELING
DALAM LINTAS SEJARAH
Disusun Oleh : KELOMPOK I
TANTANG RAMA S. :151.124.005
SITI HAJAR :151.124.016
RIZA ROPIANA :151.124.021
NURSIDRATI :151.124.024
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) MATARAM
MATARAM
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia,
serta hidayah-Nya yang tak terhingga, sehingga tugas ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Walaupun kami
telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun tugas ini, namun tentu masih
jauh dari kesempurnaan dan ditemukan berbagai kekurangan. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini diharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun demi tercapainya tujuan yang
kita inginkan.
Mataram, 7 November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................ 2
C.
Tujuan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Bimbingan dan konseling Komprehensif dalam
persepektif
Sejarah................................................................................. 3
B.
Pola-pola Bimbingan dan Konseling........................................ 8
C.
Pola Umum bimbingan dan konseling di Sekolah
(BK pola 17)........................................................................ 9
D.
Konseling Pola Manajemen dan Pelayanan Bimbingan dan
di Sekolah dan Madrasah............................................... 9
E.
Model-model Konseling menurut Para Ahli............................... 10
F.
Model-model Konseling.......................................................... 11
G.
Model-model Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan
Konseling............................................................................. 12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring perkembangannya BK, beragam harapan dan optimisme banyak
disandangkan pada guru-guru BK yang dapat membawa angin segar perubahan dalam
suasana dan proses pendidikan di sekolah. Fokus kerjanya jelas dan tegas, yaitu
sebagaimana yang disebutkan oleh Ivey dan Goncalves (1987), menghadapi
kemungkinan-kemungkinan munculnya psychological problems dalam kehidupan siswa
dan proses tumbuh-kembang siswa dalam konteks pendidikan. Begitu pula dalam
halnya dalam konteks kebijakan yang tertuang dalam rambu-rambu penyelenggaraan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan formal di Indonesia dijelaskan bahwa
jika di dalam Permendiknas No. 23/2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) yang harus dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran bidang
studi, maka kompetensi peserta didik
yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling
adalah kompetensi kemandirian untuk
mewujudkan diri (self actualization) dan pengembangan kapasitasnya (capacity
development) yang dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan.
Begitu pula sebaliknya,
kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang
terwujudnya pengembangan kemandirian. Tuntutan yang dihadapi oleh guru
bimbingan dan konseling saat ini sangatlah kompleks. Kita seluruhnya sudah
mafhum bahwa bimbingan dan konseling sebagai bagian integral yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan memiliki peran penting dan strategis dalam
mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang
holistik. Tujuan utama layanan BK di sekolah adalah memberikan dukungan
pada pencapaian kematangan kepribadian, keterampilan sosial, kemampuan
akademik, dan bermuara pada terbentuknya kematangan karir individual yang
diharapkan dapat bermanfaat di masa yang akan datang. Selama beberapa tahun
terakhir ini, berbagai upaya yang
dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut telah memunculkan paradigma baru
tentang model layanan bimbingan dan konseling yang ideal, yaitu bimbingan dan
konseling sekolah komprehensif.
[1]Diskursus tentang model Bimbingan dan Konseling Komprehensif
(selanjutnya disebut BKK) selama kurang lebih satu dekade terakhir telah
menjadi tanda tanya besar tidak hanya di kalangan praktisi layanan BK di sekolah, tetapi juga seolah diragukan
oleh beberapa kalangan akademisi BK. Gelombang besar BKK yang diwacanakan oleh
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia tersebut setidak-tidaknya telah
menimbulkan gesekan dan tarik-menarik yang cukup kuat di kalangan elit
organisasi profesi (bahkan melibatkan elit birokrasi di pemerintahan) dalam kaitannya dengan
kebijakan praktis yang akan diberlakukan di institusi pendidikan (sekolah).
Tanpa dapat dibendung, wacana BKK tersebut terus menggelinding jauh walaupun
dengan “dukungan setengah hati’ dari birokrat pendidikan. Harus diakui bahwa
pada akhirnya dinamika perkembangan profesi bimbingan dan konseling lebih
banyak diwarnai interupsi dan intervensi oleh pihak-pihak yang berpikir sempit
dan pragmatis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanna sejarah masuknya bimbingan konseling di Indonesia ?
2.
Menjelaskan pola bimbingan konseling ?
3.
Menjelaskan berbagai model pembelajaran bimbingan konseling
C.
Tujuan
Memberikan pemahaman kepada
mahasiswa dan mahasiswi mengenai sejarah masuknya bimbingan konseling di
Indonesia dan pola serta model bimbingan konseling apa saja yang di terapkan di
sekolah dan madrasah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bimbingan dan Konseling
Komprehensif dalam Persepektif Sejarah
[2]Harus diakui bahwa kelahiran dan perkembangan konsep serta
paradigma layanan bimbingan dan konseling di Indonesia tidak lain merupakan replikasi
dan adopsi model yang telah berkembang sejak lama di Amerika Serikat (atau
lebih tepatnya made in America). Pemahaman tentang bimbingan dan konseling sebagai
suatu sistem dan kerangka kerja kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari
pandangan umum bahwa layanan BK merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan. Di Amerika Serikat, latar kelahiran BK di awal abad 20 bermula dari
keperihatinan yang mendalam dari
kalangan dunia pendidikan terhadap carut-marutnya perkembangan
kepribadian generasi muda terutama kalangan pelajar di sekolah yang terkena
dampak gelombang besar industrialisasi di kota-kota besar, jumlah siswa
drop-out meningkat (kaum muda lebih memilih bekerja ketimbang sekolah,
sementara keterampilan kerja tidak memadai), pergeseran nilai dalam keluarga
dan masyarakat, urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota, dan problem-problem
sosial yang lain.
Kenyataan tersebut akhirnya memicu tumbuhnya layanan bimbingan
dan konseling sebagai suatu gerakan sosial yang selaras dengan gerakan kemajuan
(progressive movement) yang berkembang dalam dunia pendidikan di Amerika
Serikat pada saat itu yang dipelopori oleh tokoh-tokoh pendidikan saat itu,
seperti Frank Parsons, Charles Merrill, Meyer Blommfield, Jesse B. Davis, Anna
Reed, E. W. Weaver dan David Hill. Para tokoh tersebut sama-sama memandang
secara kritis bahwa gelombang revolusi industri yang membawa dampak negatif
bagi perkembangan generasi muda harus dicegah. Gerakan bimbingan yang muncul di
AS dalam bentuk bimbingan pekerjaan (vocational guidance) tersebut membawa
pengaruh besar terhadap banyak negara lainnya, seperti Filipina, Malaysia, India, dan tidak terkecuali Indonesia. Gunawan menjelaskan bahwa pada periode awal
kemerdekaan masalah bimbingan pekerjaan baru diperhatikan oleh jawatan yang
mengurus masalah tenaga kerja.
Kegiatan bimbingan kemudian dikembangkan oleh kementerian
pendidikan dan kebudayaan dengan mengembangkan banyak kursus keterampilan bagi
kaum muda. Baru pada tahun 1962, ada kebijakan SMA Gaya Baru yang mulai
menggeser bimbingan pekerjaan ke arah
bimbingan akademik. Secara formal, pemberlakuan kurikulum 1975
mengandung penegasan bahwa BK (saat itu disebut bimbingan dan penyuluhan)
merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Lahirnya Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) tahun 1975 di Malang, Jawa Timur dan pergantian nama
IPBI menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) tahun 2001
dengan kelengkapan divisi-divisi layanan di dalamnya semakin memperkokoh
layanan BK dengan berbagai domain layanan yang semakin kompleks; pribadi,
sosial, akademik, karir dan layanan pendukung lainnya.
[3]Sementara itu, inisiatif pengembangan model BKK tidak lepas dari
pengaruh gelombang reformasi sekolah (school reform movement) yang terjadi di
Amerika Serikat sekitar tahun 1980-an sampai dengan 1900-an. Pada tahun 1983,
Komisi Nasional Pendidikan di Amerika Serikat saat itu mempublikasikan
rekomendasi yang membuat publik tersentak kaget; A Nation at Risk and The Imperative of
Educational Reform (Negara dalam Bahaya; Pentingnya Reformasi Pendidikan).
Beberapa komisioner pendidikan menjelaskan bahwa siswa-siswa di Amerika Serikat
telah tertinggal jauh dari siswa-siswa yang ada di Eropa Barat dan
negara-negara pasifik lainnya dalam hal prestasi akademik.
Fenomena tersebut disebabkan oleh rendahnya standar akademik
yang harus dicapai, sebagian besar guru tidak memiliki inspirasi, dan kurikulum
yang tidak berkembang optimal. Dalam hal moral, sekolah-sekolah menengah di
Amerika Serikat berhadapan dengan tingginya kekerasan di kalangan pelajar,
kenaikan rata-rata kehamilan siswa di luar nikah, dan sebagainya. Inilah
kenyataan yang terjadi di negeri yang dianggap sebagai kampiun dalam demokrasi
dan pendidikan. Di tengah kecaman dunia internasional, terpilihnya George W. Bush pada tahun 2000
setidak-tidaknya memberi angin segar bagi masa depan reformasi pendidikan di
Amerika Serikat.
[4]Di masa Bush, kongres AS telah mengamandemen Undang-Undang
Pendidikan Dasar dan Menengah (Elementary and Secondary Act) dan melahirkan UU yang berpihak pada anak (No
Child Left Behind Act). Sampai dengan
diterbitkannya UU tersebut, Gysbers mengamati bahwa sebagian besar konselor
sekolah di Amerika Serikat lebih banyak disibukkan oleh dan menghabiskan waktu
untuk tugas dan kewajiban yang tidak professional. Penelitian yang dilakukan
oleh ASCA (American School Counselor Association) menunjukkan bahwa sebagian
besar konselor sekolah menghabiskan waktu antara 1 sampai 88% dari keseluruhan
waktu bekerja hanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak profesional dan tidak
ada kaitannya langsung dengan layanan bimbingan dan konseling. Tugas-tugas yang
tidak profesional tersebut menurut ASCA, seperti kegiatan pendaftaran dan
mengatur penjadwalan siswa baru (registering and scheduling), menangani problem
kedisplinan siswa di sekolah, pengaturan berlebihan dalam hal seragam sekolah,
mengerjakan tugas klerikal dan administratif, bahkan sampai dengan menggantikan
tugas guru dalam mengajarkan mata pelajaran atau subjek tertentu di luar bidang
layanan BK.
Di tengah arus deras reformasi pendidikan, berbagai organisasi
profesi bidang layanan BK yang ada di negeri Paman Sam tersebut memandang bahwa
reformasi yang terjadi merupakan kesempatan emas untuk mereposisi program
bimbingan dan konseling sebagai bagian penting dari misi pendidikan (sekolah)
dalam mendukung pencapaian prestasi akademik dan fasilitasi tugas perkembangan
siswa di berbagai aspek. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil dari
fenomena yang terjadi di Amerika Serikat tersebut, yaitu paradigma dan
implementasi model BKK merupakan bagianpenting yang tidak terpisahkan dari
gelombang reformasi sekolah yang terjadi saat itu. [5]Sementara di Indonesia tidak
sepenuhnya kita dapat membaca dan menganalisis sejarah ke-BK-an yang ada di
Indonesia. Karena profesi bimbingan dan konseling kita sekarang ini belum
memasuki fase historis, sebab kita sebagai pelaku sejarah masih mengalami
proses untuk membangun visi dan aksi layanan bimbingan dan konseling yang kokoh
di masa mendatang.
Walaupun demikian, pada dasarnya warna dan nuansa dunia
pendidikan kita (termasuk layanan bimbingan dan konseling) tidak lepas dari
momentum, peristiwa penting, dan konstelasi sosial-politik yang telah hadir di
Indonesia. Sejarah hanya dapat ditulis berdasarkan rangkaian peristiwa yang
saling berhubungan, tidak terkecuali sejarah pendidikan dan perkembangan
layanan professional bimbingan dan konseling. Dewasa ini, kita seolah-olah
tengah mereplikasi sejarah Amerika. Selama lebih dari satu dekade, bangsa
Indonesia tengah memasuki masa reformasi di berbagai bidang, tidak terkecuali
pendidikan. Semangat reformasi dalam bidang pendidikan tersebut ditandai oleh
keprihatinan yang mendalam seluruh pihak terhadap rendahnya indeks kualitas
pembangunan sumber daya manusia yang dilansir oleh berbagai media pemeringkatan
internasional, angka partisipasi pendidikan yang rendah, beberapa daerah
seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya
bahkan diidentifikasi sebagai “kantong merah” buta aksara, kesenjangan sarana
dan prasarana serta kualitas pendidikan di berbagai daerah di tanah air, dan
sebagainya. Prof. Dedi Supriadi (Mulpernah mengatakan bahwa sejak Indonesia
merdeka tahun 1945 dan bahkan sejak program-program Repelita dimulai tahun
1969/1970 tatkala pembangunan pendidikan mulai dilaksanakan dengan serius, baru
4-5 tahun terakhir ini (2005-2009) sejak reformasi bergulir tahun 1998
merupakan periode yang paling padat perubahan.
Beberapa perubahan yang mendominasi panggung pendidikan selama
tahun-tahun tersebut, seperti Pendidikan Berbasis Luas, Kurikulum Berbasis
Kompetensi, Manajemen Berbasis Sekolah, Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
menggantikan EBTANAS, pembentukan Dewan Sekolah dan Dewan Pendidikan
Kabupaten/Kota. Tahun 2003 bisa jadi merupakan salah satu tahun puncak
perubahan tersebut dengan lahirnya UU No 20/Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lalu diikuti dengan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen,
dan berbagai perangkat peraturan
pemerintah dan menteri yang memberi penjabaran lebih luas tentang berbagai
perubahan-perubahan dimaksud. Belakangan mulai muncul label-label perubahan
yang berseliweran tanpa terkendali; manajemen berbasis sekolah (school-based
management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school-based quality
improvement), belajar berbasis komputer (learning-assisted computer).
Sepanjang tahun 2006 dan akhir 2009 ini, energi seluruh pihak
yang berkecimpung dalam dunia pendidikan terkuras habis dalam menghadapi proyek
nasional dalam skala besar yang melibatkan berbagai kepentingan; Sertifikasi
Guru dalam berbagai varian dan bentuk. [6]Pertanyaan lebih lanjut,
apakah perubahan-perubahan itu dapat dianggap sebagai tonggak bersejarah telah
terjadi reformasi pendidikan (sekolah). Dalam konteks itu semua, peran bimbingan dan
konseling semakin eksis dan diakui secara eksplisit dalam arus besar perubahan
dimaksud. Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah, yang dulunya lebih dikenal
sebagai kegiatan Bimbingan dan Penyuluhan (BP), dewasa ini semakin penting dan
strategis dalam mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang holistik. Tujuan
utama layanan BK di sekolah adalah memberikan dukungan pada pencapaian kematangan
kepribadian, keterampilan sosial, kemampuan akademik, dan bermuara pada
terbentuknya kematangan karir individual yang diharapkan dapat bermanfaat di
masa yang akan datang.
B.
Pola-pola Bimbingan dan konseling
[7]Menurut hasil analisis Edward C. Glanz, (1964) dalam sejarah
perkembangan pelayanan bimbingan di instusi pendidikan muncul empat pola dasar
yang diberi nama sebagai berikut:
1.
Pola Generalis
Corak pendidikan dalam suatu instusi pendidikan berpengaruh
terhadap kuantitas usaha belajar siswa, dan seluruh stap pendidik dapat
menyumbang pada perkembangan keperibadian masing-masing siswa. Ujung pelayanan
bimbingan dilihat sebagai program yang kontinyu
yang ditunjukkan kepada siswa. Pada akhirnya, bimbigan hanya dianggap
perlupada saat tertentu saja.
2.
Pola Spesialis
Pelayanan bimbingandisuatu instansi pendidikan harus ditanganai
oleh ahli-ahli bimbingan yang
masing-masing berkemampuan khusus dalam pelayanan bimbingan tertentu seperti
testing psikologis, bimbingan karir, dan bimbingan konsling.
3.
Pola Kulikuler
Kegiatan bimbingan di instusi pendidikan diusulkan dimasukksn
dslsm kurikulum pengajaran dalam bentuk pengajaran khusus dalam rangka suatu
kursus bimbingan.segi positif dari pola inilah hubungan langsung terlibat dalam
seluk beluk pengajaran, segi negatif terletak dalam pemahaman diri dan
perkembangan keperibadian tidakdapat diukur melalui suatu tes hasil belajar
seperti terjadi di bidang-bidang studi akademik.
4.
Pola Relasi-relasi Manusia dan kesehatan Mental
Orang akan lebih bangga bila dapat menjaga kesehatan mentalnya
dan membina hubungan baik dengan oran lain. Segi positif dari pola ini ialah
peningkatan kerjasama antara anggota-anggota staf pendidik di institusi
pendidikan dan integrasi sosial diantara peserta didik dengan staf pendidik.
1.
Seluruh kegiatan bimbingan dan konseling (BK) didasari satu
pemahaman yang menyeluruh dan terpadu tentang wawasan dasar BK yang meliputi
pengertian, tujuan, fungsi, prinsip, dan asas-asas.
2.
Kegiatan BK secara menyelurh meliputi empat bidang bimbingan,
yaitu bimbingan pribadi,bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan
karir.
3.
Kegiatan BK dalam keempat bidang bimbingannya itu
diselenggarakan melalui tujuh jenis layanan, yaitu layanan orientasi, informasi,
penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok,
dan konseling kelompok.
4.
Untuk mendukung jenis ketujuh layanan itu diselenggarakan lima
jenis kegiatan pendukung, yaitu instrumentasi bimbingan dan konseling, himpunan
data, konferensi kasus, kunjungan rumah,
dan alih tangan kasus.
D.
Pola-pola Manajemen Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
dan Madrasah
[9]Sekolah dan madrasah merupakan suatu lembaga sosial. Selain itu
juga merupakan suatu unit kerja. Sebagai suatu unit kerja, sekolah dan madrasah
dikelola atau diorganisasi menurut pola-pola atau kerangka hubungan struktural
tertentu. Yang dimaksud pola manajemen pelayanan bimbingan dan konseling adalah
kerangka hubungan struktural antara berbagai bidang atau berbagai kedudukan
dalam pelayanan bimbingan konseling di sekolah dan madrasah. Kerangka hubungan
tersbut digambarkan dalam suatu struktur organisasi pelayanan bimbingan dan
konseling. Sekolah dan madrasah yang menganut pola profesional, akan berbeda
struktur organisasinya daripada sekolah dan madrasah yang menganut pola
nonprofesional, Yang di maksud pola profesional di sini adalah guru pembimbing
di sekolah dan madrasah yang bersangkutan direkrut dari alumni BK baik Strata
satu (S1), Strata Dua (S2), Strata Tiga (S3). Sedangkan pola nonprofesional
biasanya menempatkan kepala sekolah atau madrasah, guru mata pelajaran
tertentu, atau wali kelas sebagai petugas bimbingan.[10] Berbagai pola manajemen
di sekolah dan madrasah
1.
Pada pola manajemen dimana kepala sekolah atau madrasah
merangkap tugas selain sebagai kepala sekolah dan madrasah juga sebagai guru
pembimbing atau sebagai petugas bimbingan utama di sekolah atau madrasah yang
bersangkutan, dengan pola seperti itu berarti di sekolah dan madrasah yang
bersangkutan tidak memiliki petugas bimbingan yang khusus. (pola
nonprofesional)
2.
Pola yang tidak menempatkan kepala sekolah atau madrasah sebagai
pembimbing utama. Menunjukkan bahwa sekolah atau madrasah tersebut juga belum
memiliki petugas atau tenaga bimbingan khusus, karena pelayanan bimbingan dan
konseling dilaksanakan oleh wakil kepala sekolah urusan kesiswaan dan para wali
kelas. Sehingga wakil kepala sekolah urusan kesiswaan dan para wali kelas
memiliki tugas rangkap. (pola nonprofesional)
3.
Pola yang dilaksanakan oleh tenaga bimbingan khusus yang tidak
merangkap tugas sebagai guru atau wali kelas. Ini menunjukkan bahwa sekolah
atau madrasah tersebt sudah memiliki petugas atau tenaga bimbingan khusus dan
tenaga penunjang. (pola profesional)
E.
Model-model Bimbingan Konseling Menurut Para Ahli
1.
Frank Parson menciptakan istilah Vocational Guidance yang
menekankan ragam jabatan bimbingan dengan menganalisis diri sendiri, analisis
terhadap bidang pekerjaan, serta memadukan keduanya dengan berfikir rasional
dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan data serta wawancara konseling.
2.
Wiliam M.Proctol (1932), mengembangkan model bimbingan
mengenalkan dua fungsi yaitu fungsi penyaluran dan fungsi penyesuaian
menyangkut bantuan yang diberikan kepada siswa dalam memilih program studi,
aktivitas ekstrakulikuler, bentuk rekreasi,
jalur persiapan memegang sesuai dengan kemampuan, bakat, minat dan cita-cita siswa.
1.
Konseling keterampilan Hidup (life skill counseling)
Merupaka suatu model yang integratif untuk membantu klien agar
mampu mengembangakan keterampila dirinya sendiri. Konseling ini dilakukan
bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan usia dengan kemampuan individu.
Tujuan life skill:
a.
Mampu membantu dirinya sendiri
b.
Menjadi the skill person
2.
Model konseling Respectful
Kerangka kerja konseling ini menekankan tentang perlunya
konselor menyadari bahwa perkembangan psikologis dipengaruhi oleh faktor-faktor
multidimensi yaitu:
a.
Religius. (R)
b.
Latar belakang ras, budaya atau etnik. (E)
c.
Identitas seksual (S)
d.
Kematangan psikologis (P)
e.
Status sosial ekonomi (E)
f.
Tantangan kronologis (K)
g.
Ancaman (threat) terhadap individu (T)
h.
Sejarah keluarga (F)
i.
Kenikan karakteristik fisik (U)
j.
Lokasi tempat tinggal (L)
Untuk membelajarkan siswa sesuai
dengan cara gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dapat
dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran.
1.
Koperatif (Coperativ Learning)
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk
sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan
tanggung jawab bersama, pembagian tugas dan rasa senasib. Disini siswa
dibiasakan untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab.
Serta belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi model
pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok.
Agar kelompok kompak-partisipatif tiap kelmpok terdiri dari 4-5 orang, siswa
heterogen, ada kontrol dan fasilitas dan meminta tanggung jawab hasil kelompok
berupa laporan atau presentase.
2.
Kontektual (contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontektual adalah pembelajaran yang dimulai dengan
tanya jawab lisan yang terkait dengan dunia nyata siswa sehingga akan terasa
mamfaat dari materi yang akan disajikan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran
siswa konkret, dan suasana menjadi kondusif dan menyenangkan. Prinsif
pembelajaran kontektualadalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami,
tidak hanya menonton dan mencatat dan mengembangkan kemampuan sosialisasi.
3.
Pembelajaran Langsung (direc Learning)
Pengetahan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus
pada keterampilan dasar aan lebih efektif jika disampaikan dengan cara
pembelajaran langsung. Menyiapkan siswa sajian informasi dan prosedur, latihan
terbimbing, refleksi, latihan mandiri dan evaluasi. Cara ini sering disebut
dengan metode ceramah.
4.
Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
Kehidupan idenik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran
ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
berorientasi pada masalah yang otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk
merangsang kemampuan berfikir tngakat tinggi. Kondisi yang harus tetap
dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana
nyaman dan menyenangakan agar siswa dapat berfikir optimal.
5.
Problem Solving
Dalam ha ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang
tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah
cara mencari atau menemukan penyelesaian. Siswa berkelompok atau individual
mengidentivikasi pola atau aturan yang disajikan, siswa mengidentifikasi,
mengeksploitasi, mengintesvigasi, menduaga dan akhirnya menemukan solusi.
6.
Problem Posing
Problem posing yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi,
yaitu merumuskan kembalimasalah menjadi bagian-bagianyang lebih simple
sehingaga dipahami. Cara belajarnya adalah pemahaan, jalan keluar, identifikasi
kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternativ, menyusun soal
pertanyaan.
7.
Problem Terbuka (Oven Ended)
Pembelajaran dengan probelm terbuka artinya pembelajaran yang
menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara dan soslusinya jaga
berbagai macam. Siswa dituntut untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara
atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa
beragam. Selain itu siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai
jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingakna
proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterpuasan, dan ragam
berpikir.
8.
Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru
menyajikan serangkaian pertanyaaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga
terjadi proses berfikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan
pengalamannya dengan pengetahan baru yang sedang dipelajari. Dengan modael
pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak
sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak
bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa terlibat dalam
tanya jawab, kemungkinan akan terjadi suasana tegang namun bisa dibiasakan.
Untuk mengurangi kondisi tersebut guru hendaknya merangkaikan pertanyaan
disertai dengan wajah ramah, dan daengan nada yang lembut.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemahaman tentang bimbingan dan konseling sebagai suatu sistem
dan kerangka kerja kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari pandangan umum bahwa
layanan BK merupakan bagian integral dari sistem pendidikan. Di Amerika
Serikat, latar kelahiran BK di awal abad 20 bermula dari keprihatinan yang
mendalam dari kalangan dunia pendidikan
terhadap carut-marutnya perkembangan kepribadian generasi muda terutama
kalangan pelajar di sekolah yang terkena dampak gelombang besar industrialisasi
di kota-kota besar; jumlah siswa drop-out meningkat (kaum muda lebih memilih
bekerja ketimbang sekolah, sementara keterampilan kerja tidak memadai),
pergeseran nilai dalam keluarga dan masyarakat, urbanisasi besar-besaran dari
desa ke kota, dan problem-problem sosial yang lain. Gerakan bimbingan yang
muncul di AS dalam bentuk bimbingan pekerjaan (vocational guidance) tersebut
membawa pengaruh besar terhadap banyak negara lainnya, seperti Filipina, Malaysia, India, dan tidak terkecuali Indonesia. Gunawan menjelaskan bahwa pada periode awal
kemerdekaan masalah bimbingan pekerjaan baru diperhatikan oleh jawatan yang
mengurus masalah tenaga kerja. Pola-pola Bimbingan dan konsling
Menurut hasil analisis Edward C. Glanz, (1964) dalam sejarah
perkembangan pelayanan bimbingan di instusi pendidikan muncul empat pola dasar
yang diberi nama sebagai berikut:
1.
Pola Generalis
Corak pendidikan dalam suatu instusi pendidikan berpengaruh
terhadap kuantitas usaha belajar siswa, dan seluruh stap pendidik dapat
menyumbang pada perkembangan keperibadian masing-masing siswa. Pada akhirnya,
bimbigan hanya dianggap perlu pada saat tertentu saja.
2.
Pola Spesialis
Pelayanan bimbingan disuatu instansi pendidikan harus ditanganai
oleh ahli-ahli bimbingan yang
masing-masing berkemampuan khusus dalam pelayanan bimbingan tertentu seperti
testing psikologis, bimbingan karir, dan bimbingan konsling.
3.
Pola Kulikuler
Kegiatan bimbingan di instusi pendidikan diusulkan dimasukkan
dalam kurikulum pengajaran dalam bentuk pengajaran khusus dalam rangka suatu
kursus bimbingan. Segi positif dari pola inilah hubungan langsung terlibat
dalam seluk beluk pengajaran, segi negatif terletak dalam pemahaman diri dan
perkembangan keperibadian tidakdapat diukur melalui suatu tes hasil belajar
seperti terjadi di bidang-bidang studi akademik.
4.
Pola Relasi-relasi Manusia dan kesehatan Mental
Orang akan lebih bangga bila dapat menjaga kesehatan mentalnya
dan membina hubungan baik dengan oran lain. Segi positif dari pola ini ialah
peningkatan kerjasama antara anggota-anggota staf pendidik di institusi
pendidikan dan integrasi sosial diantara peserta didik dengan staf
pendidik.
Untuk membelajarkan siswa sesuai
dengan cara gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dapat
dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran.
1.
Koperatif (Coperativ Learning)
Pembelajaran koperatif sesuai
dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang penuh ketergantungan dengan
orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas dan
rasa senasib. Disini siswa dibiasakan untuk saling berbagi pengetahuan,
pengalaman, tugas, tanggung jawab. Serta belajar menyadari kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
2.
Kontektual (contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontektual adalah
pembelajaran yang dimulai dengan tanya jawab lisan yang terkait dengan dunia
nyata siswa sehingga akan terasa mamfaat dari materi yang akan disajikan,
motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa konkret, dan suasana menjadi
kondusif dan menyenangkan.
3.
Pembelajaran Langsung (direc Learning)
Pengetahan yang bersifat
informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih
efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Menyiapkan siswa
sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri
dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah.
4.
Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
Kehidupan identik dengan
menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan
untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah yang otentik dari
kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berfikir tngakat tinggi.
5.
Problem Solving
Dalam hal ini masalah
didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara
penyelesaiannya. Justru problem solving adalah cara mencari atau menemukan
penyelesaian. Siswa berkelompok atau individual mengidentivikasi pola atau
aturan yang disajikan, siswa mengidentifikasi, mengeksploitasi,
mengintesvigasi, menduaga dan akhirnya menemukan solusi.
6.
Problem Posing
Problem posing yaitu pemecahan
masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi
bagian-bagian yang lebih simple sehingaga dipahami.
7.
Problem Terbuka (Oven Ended)
Pembelajaran dengan probelm
terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan
berbagai cara dan solusinya jaga berbagai macam. Siswa dituntut untuk
berimprovisasi mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang bervariasi dalam
memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam.
8.
Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah
pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaaan yang sifatnya
menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengaitkan
pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahan baru yang sedang
dipelajari.
Daftar Pustaka
Tohirin. Bimbingan dan
Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011.
Prayitno. panduan kegiatan
Pengawasan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta),
2001.
Mihwanudin. Model Bimbingan
dan Konseling. http//www.wordpress.com, diakses tanggal 7 November 2013, pukul 10.12 WITA.
Fathur Rahman. Modul Ajar Pengembangan dan Evaluasi Program
BK.
Fingeredia. Model-model pembelajaran BK. http//www.wordpress.com, diakses
tanggal 27 Januari 2010, pukul 10.12 WITA.
Listiono Budi, “ Pola-pola
Bimbingan dan Konseling dalam Sejarah ”, http//www.blogspot.com,
diakses tanggal 4 februari 2011 pukul
09.24 WITA.
[2]Ibid, h. 4
[3] Ibid, h. 5.
[4] Ibid, h. 6
[5] Ibid, h. 7.
[6] Ibid, h. 8
[7] Listiono Budi, “ Pola-pola Bimbingan dan Konseling dalam Sejarah ”,
dalam http//www.blogspot.com, diambil tanggal 7 November 2013 pukul
09.24 WITA.
[8] Prayitno. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. (Jakarta: RINEKA
CIPTA, 2001), h. 66.
[9] Tohirin.
Bimbingan dan Konseling d i Sekolah dan
Madrasah (BERBASIS INTEGRASI). ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
h.277
[10] Ibid, h. 278
[11] Mihwanudin. “Model bimbingan dan konseling”, dalam http// www.wordpress.com, diambil tanggal
7 Novembe 2013 pukul 10.12 WITA.
[12] Fingeredia, “ Model-model pembelajaran BK ”, dalam http//www.wordpress.com,
diambil tanggal 7 November 2013 pukul 10.12 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar