MAKALAH USHUL FIQH
TENTANGMETODE ISTINBATH;TA’WIL,MUTLAQ-MUQAYYAD DAN MANTUQ MAFHUM
OLEH
KELOMPOK
10
KELAS :
II/A
NAMA
KELOMPOK
RAHMAT SUKIMAN 151.124.023
NURSIDRATI 151.124.024
NANDAR S.AG. 151.124.03
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
MATARAM
2013
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa), yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga
kita bisa menyelesaikan Makalah“
USHUL FIQH” ini dengan baik.
Shalawat
serta salam senantiasa kita hanturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW sebagai “Sang
Revolusioner Islam Sejati”, sebab
beliaulah kita bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil, antara yang halal dan yang haram, dan antara jalan
menuju syurga dan jalan menuju neraka.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada pihak yang membantu guna terselesainya
makalah ini.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran dari semua
pihak yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan disini, guna kelancaran dari makalah-makalah berikutnya.
Mataram,
11Juni 2013.
Hormat Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL....................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1
A. Latarbelakang........................................................................ 1
B. Rumusanmasalah..................................................................... 2
C. Tujuan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................... 3
A. ............................................................................................... 3
B. Ta’wil...................................................................................... 5
C. Mutlaq-Muqayyad................................................................... 7
D. Mantuq-Mafhuma.................................................................. 8
E.
............................................................................................... 9
BAB III PENUTUP.......................................................................... 11
A. Kesimpulan............................................................................. 11
B. Kritikdan saran....................................................................... 11
Daftarpustaka........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Kajian
tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama,
tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan
tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”. Kedua, tentang apa
yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya.
Pengetahuan
tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”. Ilmu syari’ah itu,
pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama tentang materi perangkat
ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan
hidup didunia dan diakhirat kelak. Perangkat
materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan
ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara
mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”. Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul fiqh
dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan
pelajaran fiqh. Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan
agama Islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apakah maksud dari ta’wil dan
bagaimanakah cirri-cirinya ?
2. Apakah yang di maksud dengan mutlaq dan
muqayyad ?
3. Bagaimanakah makna dari mantuq dan mafhum ?
C. TUJUAN
yang
menjadi tujuan dari makalah ini adalah :
1. untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang ta’wil serta ciri-ciri dari ta’wil itu sendiri.
2. untuk mengetahui makna dari mutlaq dan
muqayyad.
3. untuk memberikan pengetahuan tentang
makna dari mantuq dan mafhum
BAB II
PEMBAHASAN
METODE ISTINBATH; TA’WIL,MUTLAQ-MUQAYYAD, MANTUQ-MAFHUM
A. METODE
ISTINBATH
Secara etimologi istinbath berarti
penemuan, penggalian, pengeluaran ( dari asal ), sedangkan hokum mempunyai arti
hokum, peraturan dan kekuasaan. Dari pengertian tersebut dapat di pahami bahwa
istinbath hokum Al-qur’an adalah menemukan dan mengambil hokum dari Al-qar’an.
Sedangkan menurut istilah berarti
mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung di dalamnya dengan cara
mengerahkan kemampuan atau potensi naluriah[1].
B. TA’WIL
1. Pengertian
Ta’wil
Menurut bahasa ta’wil berasal dari kata ala,yaulu,
yang artinya kembali.
Sedangkan menurut istilah ta’wil ialah
membelokkan kalimat dari zhahirnya pada arti lain yang lebih sesuai dengan
alasan yang kuat sehingga arti yang lain inilah yang di anggap lebih sesuai.
Dengan alasan yang kuat dan
syarat-syarat yang lengkap, maka dalil tersebut dapat di ta’wilkan. Tujuan dari
ta’wil itu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Di samping itu ta’wil tersebut
harus di benarkan oleh ilmu bahasa serta kesusastraan arab agar cara
menta’wilkannya tidak keliru[2].
Dalam membicarakan lafal yang jelas maupun lafas yang tidak jelas artinya sering
muncul kata “TA’WIL”. Karenanya perlu di jelaskan arti dan maksud Ta’wil itu.
Dalam Al-qur’an kata Ta’wil di simpan di
17 tempat. Bila kita analisis antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan
maksudnya. Dan keseluruhan arti ta’wil dapat di kelompokan menjadi 2 yaitu :
a. Arti yang mengarah pada arti lughawi (
bahasa ) yang murni.
b. Arti yang mengarah pada arti istilah
syar’i.
Meskipun terdapat beberapa devinisi atau
istilah hokum terhadap ta’wil, namun maksudnya saling mendekatkan dan saling
mengisi, bebberapa definisi ta’wil yang di kemukan oleh para ulama antara lain
:
a. Abd. Wahab Khalaf
Memalingkan lafaz dari zhabirnya
berdasarkan adanya dalil.
b. Ibn jauzi
Mengalihkan ucapannya dari maudhu’nya
kepada apa yang di perlukan untuk menetapkan kepada dalil yang tidak demikian,
maka zhabir lafaz tidak di tingkatkan.
c. Ibnu Atsir
Mengalihkan zhabir lafaz dari pemakain
asalnya kepada suatu yang di perlukan oleh dalil.
d. Abu Zahrah.
Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada
makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.
Beberapa definisi
di atas yang berbeda menurut lainnya, dapat di rangkum dalam satu rumusan
tentang definisi ta’wil yaitu “memalingkan lafaz dari arti yang lain yang
mungkin di jangkau oleh dalil”.
2. Ciri-ciri
Ta’wil.
Dari rumusan yang sederhana itu dapat di lihat
haqiqah yang merupakan ciri dari ta’wil yaitu :
a. Lafaz itu tidak lagi di pahami menurut
arti lahirnya.
b. Arti yang di pahami dari lafas itu
adalah arti lain yang secara umum juga di jangkau oleh arti lahir lafaz itu.
c. Peralihan dari arti lahir kepada arti
lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.
Dalam hubungan dengan lafas tafsir, ada
ulama yang berpendapat bahwa kedua lafas itu sama artinya dari segi tinjauan
pengalihan. Tetapi sebenarnya di antara keduanya terdapat perbedaan. Menurut
pengartian kalangan ulama, tafsir itu adalah menyikap makna Al-quran dan
menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya. Al-Rahib mencoba membedakan
antara ta’wil dan tafsir. Bahwa tafsir lebih umum dari ta’wil dan lebih
bganyaki penggunaanya dalam lafas dalam arti mufradat lafas. Sedangkan ta’wil
lebih banyak penggunaanya dalam makna dan banyak terdapat kitab-kitab ilaihiyat[3].
Pada dasarnya setiap lafaz harus di pahami
menurut lainya. Tetapi dalam keadaan tertentu, tidak mungkin memahami suatu
lafas menurut lahirnya, oleh karna itu di beri kemungkinan untuk menggunakan
ta’wil bila memenuhi syarat-syarat yang di tentukan untuk ta’wil.
3. Syarat-syarat
Ta’wil
Sahnya
suatu ta’wil harus memenuhi beberapa syarat diantaranya :
a. Harus sesuai dengan ilmu
bahasa/kesusastraan.
b. Dapat dipergunakan sesuai pengertian
bahasa.
c. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara
dan istilah-istilah syara yang ada.
d. Menunjukan dalil( alasan tentang ta’wil
itu )
e. Apabila berdasarkan Qiyas, haruslah
memakai qiyas yang terang dan kuat.
f. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk
dita’wilkan karna lafas tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat di
artikan untuk di ta’wil serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain
tersebut.
g. Ada hal-hal yang mendorong untuk
ta’wil, seperti :
1) Bentuk lahir lafas berlawana dengan
kaidah yang berlaku dan di ketahui secara dharuri atau berlawanan dengan dalil
yang lebih tinggi dari dalil itu.
Contohnya : suatu hadist menyalahi maksud
hadist lain, sedangkan hadits itu di ta’wilkan saja ketimbang di tolak sama
sekali.
2) Nash itu menyalahi dalil lain yang
lebih kuat dilalahnya.
Contohnya : sutu lafal dalam bentuk zhabir
di peruntuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.
3) Lafs itu merupakan suatu nash
untuk suatu objek tetapi menyalahi lafas
lain yang mufassar dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wil.
4) Ta’wil itu harus mempunyai sandaran
kepada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada[4].
4. Bentuk-bentuk
Ta’wil.
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan
adanya penggunaan ta’wil . perbedaanya terletak pada dasar penggunaan dan
penerimaannya.
a. Dari segi di terima atau tidaknya suatu
ta’wil ada dua bnetuk yaitu :
1) Ta’wil maqbul atau ta’wil yang di
terima , yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wil dalam
bentuk ini di terima keberadaanya oleh ulama ushul.
2) Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang
di tolak, yaitu ta’wil yang hanya di dasarkan kepada selera atau dorongan lain
dan tidak terpenuhi syarat yang di tentukan.
b. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan
makna lafaz yang di ta’wil dari makna zhahirnya, ta’wil di bagi kepada du
bentuk yaitu :
1) Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak
jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana
dapat di pahami maksudnya. Ta’wil qorib ini termasuk kedalam bentuk ta’wil yang
maqbul seperti di uraikan di atas.
2) Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari
makna lahir suatu lafas yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat di ketahui
dengan dalil yang sederhana.
5. Kedudukan ta’wil.
Ulama
ushul telas sepakat bahwa ta’wil itu hanya berlaku dalam soal-soal furu. Adapun mengenai soal-soal ushul (
poko-pokok syara’) seperti soal sifat Allah, surga, neraka, dan sebagainya maka
terdapat tiga pendapat sebagai berikut :
a. Tidak berlaku ta’wil dalam soal-soal
ushul.
b. Berlaku dalam soal-soal ushul hanya
saja ta’wilya di serahkan kehadirat Allah SWT.
c. Berlaku ta’wil dalam soal ushul,
menurut madzhab khalaf termasuk Ibnu Abbas. Jadi, lafal aidin dalam al-qur’an
surah Adz-Dzariyat ayat 47.
Artinya
: “aku membuat langit itu dengan
tangan-Ku”
( QS.Adz-dzariyat:47).
Menurut pendapat pertama di atas; Allah mempunyai tangan
seperti tangan manusia yang berarti Allah itu berjisim( berbentuk). Ini tidak
benar karna dalam hal ini Allah disamakan dengan mahluk-Nya, padahal Allah
tidak seperti mahluk.
Menurut pendapat kedua, Allah itu bersifat, bertangan tetapi
tangan Allah tidak sama seperti t5angan mahluknya, jadi Allah tidak berjisim
seperti manusia lain dan itu hanya Allah sendiri yang mengetahuinya sesuai denagan
kebesarannya.
Menurut pendapat ketiga, tangan Allah dalam ayat tersebut di
atas di artiakn dengan kekuasaan[5].
C. MUTLAQ
DAN MUQAYYAD
1. pengertian
mutlaq
secara bahasa kata mutlaq berarti bebas
tanpa ikatan. Kata mutlaq menurut istilah seperti di kemukakan abd. Al-Wahhab
Khallaf, ahli ushul fiqh berkembangsaan mesir dalam bukunya “ilmu Ushul
al-fiqh” adalah lafal yang menunjukan suatu satuan tanpa di batasi secara
harfiah dengan satu ketentuan.
apabila kita
selidiki secara saksama tentang keadaan kiat lafal yang dipandang dari segi di
batasinya atau tidaknya lafal itu, maka ada yang keadaanya bebas dan tidak di
batasi penggunaannya oleh hal lain, hal-hal yang membatasi lafal itu disebut
al-qid.
Mutlaq ialah
lafal yang menunjukan arti yang sebenarnya tanpa di batasi oleh suatu hyal yang
lain.
Maksudnya
lafal tersebut masih dalam keadaan asli dan bebas dari pengaruh hal’’ lain.
Lafal ini sebut mutlaq atau al-mutlaq . contoh perkataan Aidikum dalam surah An-nisa 43. Artinya apabila kamu itdak menemui air
maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dengan tanganmu
dengan debu itu.
Mengusap
tangan dengan debu , dalam ayat ini tidaklah dibatasi sifat syarat dan
sebagainya, artinya tidak dilarangkan sampai dimana apakah semuanya diusap atau
sebagiannya yang jelas dalam tayamum itu harus tangan dengan debu. Dalam kata tanganmu ini tidak dibatasi sampai
dimana yang harus diusap maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja
asalkan bagian tangan. Oleh karena itu disebut mutlaq. Contoh lain, lafal RAQAABATIN dalam QS. Al-Mujadalah ayat 3 yang
artinya:
“Maka
hendaklah engkau memerdekakan budak (Raqaabah)”.
Dalam ayat
ini tidak diterangkan budak yang bagaimana, jadi tidak dibatasi sifat atau
syarat lainnya. Jadi perkataan budak ini disebut mutlaq. Dengan demikian budak
yang bagaimana saja boleh dimerdekakan karena tidak ada ketentuan bahwa budak
tersebut harus yang mukmin atau yang lainnya.
2. Pengertian
Muqayyad
Dari segi bahasa muqayyad berarti
terikat. Sedangkan menurut istilah muqayyad adalah lafal yang menunjukan suatu
satuan yang yang secara lafziyah di
batasi dengan suatu ketentuan.
Contoh:
perkataan Waidiyakum illal marafiqi.
Artinya: basuhlah
tanganmu sampai siku-siku yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 6.
Artinya: “maka
basuhlah mukammu dan tanganmu sampai siku-siku.
Ayat ini
menerangkan soal wudhu yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku[6]”.
Disini
jelaslah bahwa lafal aidikum diseut
Muqayyyad (dibatasi) sedangkan lafal illal marafiqi disebut Al-Qaid yang
kadang-kadang disebut kata qaid.
Contoh lain: perkataan Raqabatin Mu’minatin yang artinya budak yang mukmin yang
terdapat pada surah An-Nisa ayat 92 yang artinya barang siapa yang membunuh
orang mukmin karena bersalah maka wajiblah memerdekakan budak mukmin.
Dalam ayat
ini terdapat ketentuan, yaitu terbatas pada budak mukmin sehingga harus
memerdekan budak yang mukmin saja (dalam soal pembunuhan yang tidak disengaja).
Jadi lafal raqabatin dalam ayat ini disebut Muqayyad sedangkan lafal Mu’minat
disebut Al-Qaid.
3. Hukum Lafal Mutlaq dan Muqayyad.
a.
Tidak berbeda
( sama ) hokum dan sebabnya.
Contoh Mutlak
:
Artinya : “di
haramkan atas mu bangkai,darah dan daging babi”
(QS.Al-Maidah :3)
Contoh
Muqayyad :
Yang artinya
: “katakanlah,tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang di turunkan kepada ku,
akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya,kecuali
bangkai, darah yang mengalir atau daging babi.” ( QS. Al-An’am: 145 )
Kedua ayat tersebut berisi sebab
yang sama, yaitu hendak makan, dan berisi hokum yang sama, yaitu: haramnya
darah. Dengan demikian makan yang diharamkan ialah darah yang mengalir, seperti
hati ( liver ), limpa, tidak haram[7]
b.
Berbeda hokum
dan sebab nya
Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan
muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Muqayyad tidak menjadi penjelasan
mutlak.
Contoh mutlak
Artinya : “
pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannya”.
Contoh
muqayyad :
Artinya : “
wahai orang mukmin, apabila kamu hendak solat, hendaklah basuh muka mu dan
tangan mu sampai siku”. ( QS. Al-maidah : 6 )
Ada hadis
nabi yang menjelaskan bahwa pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan.
Ayat 6
al-maidah yang miqayyad `tidak bisa menjadi penjelasan ayat 38 Al-maidah yang
mutlaq, karena berlainan sebab, yaitu hendak solat dan pencurian , dan
berlainan pula dalam hokum yaitu wudhu dan pemotongan tangan. Dalam hal ini
hadis nabi saw- lah yang menjadi penjelasan ayat 38 al-maidah, karena
pembicaraan nya ( sebab dan hokum ) sama.
c.
Berbeda
hokum, tetapi sebabnya sama.
Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan
muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh mutlaq
:
artinya :“
Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan”.(HR. Ammar).
Contoh
Muqayyad.
Yang
artinya :
“Basuhlah
muka mu dan tangan mu sampai siku”(QS.Al-maidah:6)
Ayat 6 Al-maidah tersebut yang
Muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan. Hadis yang mutlaq,karna berbeda
hokum,yang di bicarakan,yaitu wudhu pada ayat 6 Al maidah dan tayamum pada
hadis meskipun sebabnya sama yaitu hendak sholat atau karna hadas ( tidak suci
).Tangan bisa di artikan dari ujung jari sampai pergelangan, atau sampai
siku-siku, atau sampai bahu.
D. MANTUQ-MAFHUM.
1. Pengertian Mantuq dan mafhum.
Suatu nash kalau di
qaidkan dengan sesuatu, baik sifat, syarat, gaya bahasa atau adab( bilangan ),
maka hokum yang di peroleh dari nash tersebut dinamakan Mantuq. Jadi Mantuq
ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Sedangkan
Mafhum adalah pengertian yang di tunjukkan oleh lafal tidak di tempat
pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan tersebut.
Contoh firman Allah SWT
dalam surah Al-isra ayat 23 :
Artinya : “maka jangan kamu katakan
kepada dua orang ibu bapak mu perkataan yang keji”(QS.Al-isra :23)
Dalam ayat tersebut
terdapat pengertian mantuq dan mafhum,pengertian mantuq yaitu ucapan lafal itu
sendiri(yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada dua
orang ibu bapak mu.Sedangkan mafhum yang tidak di sebutkan yaitu memukul dan menyiksanya(
juga dilarang ),karna lafal-lafal yang mengandung pemahaman yang sama terhadap
arti dari ayat tersebut. Pemahaman yang di ambil dari segi pembicaraan yang
nyata di namakan mantuq dan tidak nayata di sebut mafhum[8].
2. Pembagian Mantuq.
a.
Nash, yaitu suatu
perkataan yang jelas dan tak mungkin di ta’wilkan.
Seperti
firman Allah SWT :
Artinya : “ Maka hendaklah puasa Tiga Hari”
b.
Zhahir,yaitu
suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang di maksud dan
menghendaki kepada penta’wilan.
Seperti firman
Allah SWT :
Artinya : “Dan kekallah wajah Tuhan engkau”
(QS.Ar-Rahman:27).
Wajah dalam ayat ini di artikan
sebagai dzat, karna mustahil bagi Tuhan memiliki wajah[9].
3. Pembagian Mafhum.
Mafhum ada 2
macam yaitu :
a.
Mafhum
Muwafaqah yaitu pengertian yang di pahami sesuatu menurut ucapan lafal yang di
sebutkan.
1)
Fahwal khitab
yaitu apabila yang di pahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang di
ucapkan.Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya,Firman Allah yang
artinya “jangan kamu katakana kata-kata yang keji kepada dua orang ibu
bapakmu”.Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh ( di larang ) apalagi
memukulnya.
Lahnal khitab
yaitu apabila yang tidak di ucapkan sama hukunya dengan yang di ucapkan.
b.
Mafhum
Mukhalafah yaitu pengertian yang di pahami berbeda dari ucapan,baik dalam
istinbat ( menetapkan ) maupun naïf (meniadakan).Oleh sebab itu hal yang di
pahami selalu kebalikkannya dari pada bunyi lafal y6ang di bunyikan.
1)
Macam-macam
Mafhum Mukhalafah
a)
Mafhum shifat
yaitu menghubungkan hokum sesuatu kepada salah satu sifatnya.
b)
Mafhum ‘illat
yaitu menghubungkan hokum sesuatu menurut illatnya.Mengharamkan minuman keras
karna memabukan.
c)
Mafhum ‘adat
yaitu menghubungkan hukm sesuatu,kepada bilangan yang tertentu.
d)
Mafhum ghayah
yaitu lafal tyang menunjukkan hokum sampai kepada ghaya ( batasan,hinggaan
),hingga lafal ghaya ini adakalanya dengan “ilaa” dengan kata “hatta”.
e)
Mafhum Had,
yaitu menentukan hokum dengan di sebutkan suatu ‘adad, di antara adat-adatnya.
f)
Mafhum
laqaab, yaitu menggantungkan hokum kepada isim alam atau isim fi’il[10].
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
Adapun yang
menjadi simpulan dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.
Ta’wil adalah
“memalingkan lafaz dari arti yang lain
yang mungkin di jangkau oleh dalil”.
2. Mutlaq ialah lafal yang menunjukan arti
yang sebenarnya tanpa di batasi oleh suatu hyal yang lain. Sedangkan Muqayyad
adalah lafal yang menunjukan suatu satuan yang secara lafziyah di batasi dengan suatu ketentuan.
3. Mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan
lafal itu sendiri. Sedangkan Mafhum adalah pengertian yang di tunjukkan oleh
lafal tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan
tersebut.
B. KRITIK DAN SARAN.
Dalam pembuatan makalah
ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu guna terselesainya malakah ini. Dalam isi makalah ini penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya, baik dari
segi metode,isi, maupun cara penulisan. Dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca yang sifat nya membangun guna
terciptanya makalah yang lebih baik buat kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA.
Drs.
Khairul Uman, Ushul fiqh.Bandung:CV
pustaka setia,2001.
H.A.Syafi’I
Karim, Fiqh Ushul fiqih.Bandung:Pustaka
Setia,2006.
Muhammad
Abu Zahra, Ushul al-fiqh. Kairo:Dar
al-fikr al_Araby,1957.
Prof.Dr.Rachmat
Syafe’I,Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:PuStaka
setia,2010.
Satria
Efendi dan M.Zein, Ushul Fiqh.
Jakarta:Kencana,2009.
[1]
Satria Efendi dan M.Zein, Ushul Fiqh( Jakarta:Kencana,2009),h.177.
[2]
Drs. Khairul Uman& Drs. H.A.Achyar Aminudin,Ushul fiqih II(Bandung:CV pustaka setia,2001),h.21.
[3]
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-fiqh(
Kairo:Dar al-fikr al_Araby,1957),h.177.
[4] Ibid, h.166.
[5] Ibid,h.23-24.
[6] Drs.H.achyar
Aminudin, Ushul fiqh II( Bandung:Pustaka Setia,2001),h.95-97.
[7] Prof.Dr.Rachmat
Syafe’I,Ilmu Ushul Fiqh(Bandung:Pustaka
setia,2010),h.212-213.
[8]
Ibid, h.47-48.
[9]
H.A.Syafi’I Karim, Fiqh Ushul fiqih(Bandung:Pustaka
Setia,2006),h.171.
[10] Ibid,h.187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar